Minggu, 09 Desember 2012

Nilai-Nilai Moral di Seputar Ibadah Haji

Ibadah haji merupakan ibadah yang dilakukan oleh para rasul sebelum Nabi Muhammad. Selama ini banyak yang beranggapan bahwa ibadah haji (terutama thawaf) baru dimulai pada masa Nabi Ibrahim. Ternyata menurut riwayat, Nabi Adam sudah thawaf di Ka’bah, namun ketika itu belum ada bentuk bangunan Ka’bahnya. Memang yang terekam di dalam Alquran bahwa Nabi Ibrahim beserta puteranya yang membangun Ka’bah. Tetapi sejak manusia belum ada, tempat itu (Ka’bah) sudah dijadikan oleh Allah di bumi ini sebagai tempat suci:



Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (Q.S. Ali Imraan: 96)

Jadi, Nabi Adam, bahkan dalam suatu riwayat disebutkan bahwa para malaikat biasa berthawaf di tempat suci itu. Nabi Adam juga sudah berthawaf di Ka’bah yang kita kenal sekarang ini. Barulah kemudian Nabi Ibrahim yang terekam di dalam Alquran yang membangun Ka’bah itu sebagai bangunan yang kokoh yang kita kenal sampai sekarang. Tentu pada saat itu yang dibangun oleh Nabi Ibrahim tidak seperti yang kita lihat kini.
Di dalam fiqh, ibadah haji disebut sebagai syar’uman qablana, yaitu ibadah-ibadah yang sudah dilakukan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad. Contoh lainnya adalah Qurban yang sudah disyariatkan sejak masa Nabi Adam.
Selain thawaf, di dalam ibadah haji juga terdapat sa’i. Sa’i berasal dari kata as-sa’iyu yang jika diterjemahkan berarti kerja keras, yang selama ini kita pahami sebagai lari,lari kecil. Kata as-sa’iyu artinya adalah etos kerja. Nabi Ibrahim ketika itu berdoa, seperti yang disebutkan di dalam Alquran:
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Q.S. Ibraahim: 37)
Ini menunjukkan bahwa sebelum Nabi Ibrahim, Baitullah itu sudah ada. Dari sinilah kata as-sa’iyu itu bermula, yaitu ketika perbekalan yang dimiliki oleh Hajar dengan anaknya (Ismail) sudah habis. Sebagai manusia biasa, Ismail yang masih bayi itu menangis, air susunya Hajar pun sudah tidak bisa keluar lagi karena sudah tidak ada asupan makanan ke dalam tubuhnya. Dalam situasi yang seperti itu, muncullah etos kerjanya (as-sa’iyu). Dia (Hajar) memandang ke sekelilingnya, di bukit Shafa dia memandang ke Marwa yang dilihatnya ada genangan air di sana. Dalam bahasa sehari-hari kita mengenalnya sebagai fatamorgana, yaitu gejala optis (penglihatan) yang tampak pada permukaan yang panas yang kelihatan seperti genangan air. Dia pun kemudian lari ke Marwa yang ternyata di sana terdapat air.
Dia pun kemudian berdiri di Marwa. Ketika memandang ke Shafa, dilihatnya ada genangan air di sana. Lagi-lagi, hal tersebut hanyalah fatamorgana. Lalu ia lari lagi menuju ke Shafa. Seterusnya seperti itu sampai tujuh kali. Andai saja Hajar hanya menangis menerima nasibnya begitu saja dan tidak mau bekerja keras, hampir dapat dipastikan tidak akan mendapatkan semburan air zamzam. Tapi karena sa’i-nya (kerja kerasnya), ia dan anaknya pun kemudian mendapat rahmat dari Allah.
Zamzam artinya adalah berkumpullah. Jadi, waktu air itu menyembur sedikit, lalu Hajar berkata: zamzam, zamzam (berkumpullah, berkumpullah). Sehingga air yang menyembur itu pun menjadi banyak.
Sebelum adanya mata air itu (zamzam), hanya Hajar dan anaknya (Ismail) yang masih kecil itu saja yang berada di lembah tersebut. Tetapi setelah adanya mata air zamzam, maka kafilah-kafilah yang melintasi lembah tersebut mesti singgah untuk mendapatkan air. Hajar dan Ismail pun kemudian menolong para kafilah yang singgah di lembah itu. Dari pertolongan yang diberikan oleh Hajar dan Ismail terhadap kafilah yang singgah itu, maka mereka pun mendapatkan semacam upah, yang kemudian dari hal tersebut mereka menjadi hidup makmur. Artinya, dengan adanya air zamzam, menjadi diberkahilah sekeliling Ka’bah.
Sebetulnya hal tersebut hampir tak masuk akal, karena orang-orang di Arab kalau menggali sumur, maka yang keluar itu adalah lumpur bercampur minyak, tidak ada air yang keluar. Tetapi pada kasus sumur zamzam, yang keluar adalah air mineral yang tidak perlu dimasak, bisa langsung diminum, dan air tersebut sangat tinggi kandungan mineralnya. Dalam suatu hadits dikatakan bahwa hal tersebut akan berlaku hingga akhir zaman. Hujan yang turun di sana hanya dua sampai kali kali saja dalam setahun. Tetapi air zamzam terus mengalir dan tak pernah habis hingga kini yang itu bisa melayani sekian banyak jamaah haji dari seluruh dunia.
Di dalam ibadah haji kita juga akan melihat betapa al-musaawah (persamaan) ketika semua orang berpakaian kurang lebih sama, tidak dibedakan antara orang yang berpangkat dengan orang awam. Hal ini karena Islam sangat menjunjung tinggi persamaan. Kita boleh berbeda-beda, tapi ketika menghadap Allah, maka tak ada perbedaan antara orang Arab dengan yang bukan Arab, kecuali ketakwaannya. Siapa yang dulu masuk masjid, maka boleh menempati shaf pertama.
Selain itu, juga ada nilai-nilai kesederhanaan. Orang-orang hanya memakai pakaian ihram. Walaupun di rumahnya mungkin ada pakaian yang terbuat dari sutera, tapi ketika melakukan ibadah haji tetap saja yang dipakai adalah pakaian yang sederhana. Dan ini dilambangkan, bahwa ketika manusia wafat, yang dikenakna juga pakaian yang sederhana, yaitu berupa kain kafan.
Di dalam ibadah haji juga terdapat nilai persahabatan (silaturahim). Kadang-kadang jika di rumah mungkin privasi kita begitu tinggi. Namun ketika melakukan ibadah haji, silaturahimlah yang lebih dikedepankan.
Terdapat pula nilai-nilai kesadaran moral di dalam ibadah haji. Mungkin banyak sekali kita dapatkan dari cerita para jamaah haji hal-hal yang aneh dan semacamnya. Ketika beribadah haji, ada hal-hal yang menjadi pelajaran untuk kita, bahwa memang ada pembalasan dari Allah jika kita tak ada kesadaran moral, bahkan hal terkecil sekalipun yang kita lakukan. Siapa yang berbuat seberat zarah, maka akan diperlihatkan hasilnya kepada orang tersebut di dunia ini. Ataupun kalau tidak, maka akan diperlihatkan hasilnya di akhirat. Karena itulah, ketakaburan, kesombongan, individualitas, dan sikap tercela lainnya mestinya dihilangkan pada saat melakukan ibadah haji.
Ibadah haji adalah ibadah yang memenuhi tiga kriteria, yaitu ibadah fisik, ibadah maaliyah, dan ibadah ruuhiyah. Sebagai perbandingan, bahwa salat adalah ibadah fisik, zakat adalah ibadah maaliyah, dan zikir adalah ibadah ruuhiyah. Dalam hal ini, haji mengumpulkan tiga kriteria ibadah tersebut. Sebagai ibadah fisik, karena memang ada beberapa rukun haji yang mesti dilakukan secara fisik dan tidak bisa diwakilkan, seperti wukuf dan thawaf. Sebagai ibadah maaliyah karena pada haji kita harus mengeluarkan dana (uang) untuk berangkat ke sana, sehingga haji itu mengumpulkan semua sisi-sisi aspek ibadah yang ada dalam Islam.
Ibrah Li Ulil Albab (pelajaran bagi mereka yang berakal):


Pertama, akidah keluarga

Nabi Ibrahim yang kita kenal sebagai pionir dari ibadah haji selalu yang diutamakannya adalah akidah keluarga. Hal ini tak lain karena kalau akidah kuat, maka ibadah-ibadah yang lain akan mengikuti.
Akidah penting dibina walaupun tidak terlihat wujudnya. Di dalam Alquran terekam banyak sekali ayat mengenai hal ini. Misalkan, menjelang akhir hayatnya para nabi, selalu yang dipesankan (diwasiatkan) adalah tentang akidah. Di dalam Alquran disebutkan, bahwa kalau maut sudah hampir datang kepada mereka, maka mereka pun akan mengumpulkan anak-cucunya. Mereka pun menanyakan kepada anak cucunya mengenai apa yang akan mereka sembah setelah dirinya meninggal dunia. Dan biasanya anak-cucunya selalu mengatakan, bahwa mereka adalah muslim yang selalu akan menyembah Allah dan akan selalu bertauhid.
Akidah berada di dalam diri kita. Jika kita melihat seseorang yang rajin beribadah serta selalu beramal kebaikan yang semuanya itu selalu tampil dalam kehidupannya sehari-hari, maka kita akan memastikan bahwa orang tersebut insya Allah akidahnya kuat. Sama halnya ketika kita melihat pohon yang rindang, daunnya lebat, buahnya ranum, maka kita akan memastikan insya Allah akar pohon tersebut pasti kuat.
Kedua, tugas dakwah
Nabi Ibrahim dalam tugas dakwahnya selalu mengundang orang untuk berhaji. Di dalam Alquran disebutkan:
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (Q.S. Al-Hajj: 27)
Karena itulah, mungkin tak tepat jika ada yang mengatakan bahwa dirinya belum pergi haji karena ia belum mendapatkan panggilan, walaupun hartanya sudah lebih dari cukup untuk menunaikan ibadah haji. Karena seperti yang direkam oleh Alquran, bahwa Nabi Ibrahim sebenarnya sudah mengundang kita.
Ketiga, layanan sosial
Kalau kita melihat sejarahnya, bahwa Hajar dan Ismail memberikan layanan sosial berupa memberikan minum kepada orang-orang yang lewat di sekitar Baitullah, karena itu adalah bentuk kepekaan sosial.
Salah satu yang membedakan manusia dengan hewan adalah kepekaan sosial. Selama ini mungkin yang kita ketahui bahwa perbedaan manusia dengan hewan terletak pada akalnya. Tapi kalau dalam psikologi, bukanlah akal yang membedakan manusia dengan hewan. Yang membedakan manusia dengan hewan yaitu memiliki kepekaan sosial dan adanya kesinambungan pekerjaan.
Pertama, manusia memiliki kepekaan sosial. Jika manusia tergerak hatinya untuk menolong sesamanya yang sedang ditimpa musibah, itu tak lain karena manusia mempunyai kepekaan sosial. Kedua, adanya kesinambungan pekerjaan. Kita ini hidup dari kecil, hingga pada suatu saat ada titik berhentinya manusia di dunia ini. Namun kita meyakini, sesudah titik itu, kita akan pindah ke suatu tempat yang abadi yang kita kenal sebagai akhirat. Karena kita mengetahui hal tersebut, maka setiap manusai selalu akan berusaha meningkatkan kehidupannya, baik itu secara ekonomi, maupun kehidupan moralnya. Misalkan, kehidupan manusia selalu terencana. Sedangkan kalau hewan, kehidupannya tidaklah terencana.
Keempat, keteguhan ayah dan kepatuhan anak
Moral ini juga sangat penting. Bayangkanlah, si anak (Ismail) yang masih kecil itu ditinggal oleh ayahnya (Nabi Ibrahim). Mungkin kira-kira belasan tahun lamanya Sang Ayah meninggalkan anaknya tersebut. Ketika Nabi Ibrahim bertemu lagi dengan Ismail, ternyata beliau kemudian diperintahkan oleh Allah (melalui mimpi yang benar) untuk mengurbankan anaknya (Ismail).
Karena ini menyangkut suatu kehidupan, maka tentunya tidak begitu saja Nabi Ibrahim memberitahu kepada Ismail, melainkan beliau tetap memberikan pandangan dan meminta pendapat kepada Ismail apakah ia akan menolak atau tidak. Karena memang tingkat kepatuhannya sangat tinggi, dan Hajar pun juga merupakan istri yang sangat setia, serta tahu persis siapa Ibrahim yang tak lain adalah suami yang sangat taat kepada Allah.
Setelah diberitahu ayahnya seperti itu, Ismail pun mempersilakan ayahnya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah tersebut. Ismail mengatakan bahwa insya Allah ia (Ismail) akan termasuk sebagai orang-orang yang sabar.
Kelima, pola asuh
Ada tiga jenis pola asuh, yaitu otoriter, sangat permisif (semua serba boleh), dan demokratis. Di dalam kehidupan sehari-hari, ketiga pola asuh ini harus ada. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim melakukan pola asuh yang otoriter berkaitan dengan akidah. Ia tidak memberikan pilihan kepada anaknya untuk memilih agamanya sendiri. Pola asuh yang demokratis diberlakukan Nabi Ibrahim jika itu berhubungan dengan masa depan anaknya.
Seperti yang terekam dalam Alquran, bahwa Nabi Ibrahim memberikan peluang kepada anaknya untuk memilih hobi yang disukainya sepanjang itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ismail mempunyai hobi berburu kambing gurun. Dalam hal ini Nabi Ibrahim mempersilakan saja anaknya untuk menggeluti hobinya sepanjang itu tidak mengganggu aktivitas ibadahnya.
Ada orang tua yang mendidik anaknya dengan sangat sayang, bahkan terlalu sayang. Karena terlalu sayangnya itu, apapun yang diminta anaknya pasti dipenuhinya. Ada juga orang tua yang terlalu sering memarahi anaknya. Hampir tidak ada hari tanpa memarahi anaknya. Ada juga orang tua yang mendidik anaknya serba boleh. Ada juga yang mendidik anaknya serba tidak boleh. Akibatnya, kalau ada anak yang dididik terlalu saying dan serba boleh, maka anak itu akan menjadi binal, sehingga dengan demikian akan susah dikendalikan. Sebaliknya ada anak yang dididik serba tidak boleh dan sering dimarahi. Jika dididik seperti ini, maka anaknya akan menjadi frustrasi. Ada pula anak yang diasuh denghan cara serba boleh, tapi sering juga dimarahi. Jika seperti ini, maka anak itu akan menjadi nakal. Sebaliknya, ada orang tua yang mendidik anaknya serba tidak boleh, karena terlalu sayangnya terhadap anaknya. Akhirnya anaknya akan menjadi sangat tergantung.
Pola asuh yang ideal adalah seperti yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim, yaitu pola asuh yang kompleks. Ada saatnya orang tua mengatakan boleh terhadap anaknya. Ada pula saatnya orang tua mengatakan tidak boleh terhadap anaknya. Serta ada juga saatnya orang tua menunjukkan perasaan marah terhadap anaknya ketika anak itu melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama atau tidak melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Inilah sebagian kecil dari nilai-nilai moral yang ada di seputar haji dan qurban yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Ibadah-ibadah ini kemudian diteruskan oleh Rasulullah. []
Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Ahmad Darwis Hude pada tanggal 1 November 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan
Sumber gambar: http://matanews.com/

0 komentar:

Posting Komentar

 
;